Selasa, 30 November 2010

Penanganan Triase lewat segenggam telepon



Ingat apa itu triase (triage)? Triase adalah proses khusus untuk memilah pasien berdasar tindak kegawatdaruratannya untuk menentukan jenis penanganan dan transportasinya. Triase ini bisa dilakukan pada posisi di rumah sakit atau di lapangan seperti pada kondisi bencana. Pada prinsipnya triase akan memilih pasien mana yang akan ditangani terlebih dahulu untuk menyelamatkan jiwanya.

ada 4 simbol yang digunakan dalam triase. biasanya simbol yang dipakai adalah warna yaitu merah, kuning, hijau dan hitam. Berurutan dari warnanya :
a. Merah. Pada pasien ini harus segera ditangani untuk menyelamatkan jiwanya.
b. Kuning. Pada pasien ini segera ditangani setelah pasien dengan kode merah karena kondisinya masih memungkinkan untuk menunggu pasien merah ditangani terlebih dahulu baru kemudian pasien kuning yang ditangani.
c. Hijau. Pasien ini kondisinya masih sadar penuh dan mendapat prioritas terakhr untuk ditangani.
d. Hitam. Pasien ini tidak perlu ditangani karena sudah tidak ada harapan untuk hidup atau sudah meninggal dunia.

Untuk prinsip ini biasa digunakan di rumah sakit. Berbeda sedikit untuk triase di daerah bencana. Urutan triase di daerah bencana menjadi Kuning-Merah-Hijau-Hitam. Hal ini dikarenakan jarak lokasi bencana dan rumah sakit sering jauh dan prioritas pertama jatuh pada pasien dengan kode kuning karena masih memiliki waktu untuk segera ditangani dan kemungkinan selamat tinggi. Memang sepertinya berat untuk memilih. Namun memang tujuan triase ini adalah untuk memilah dan menyelamatkan sebanyak mungkin pasien yang masih bisa diselamatkan.

Lalu muncul teknologi terbaru yaitu telepon triase. Sedikit berbeda dengan aap yang dijelaskan sebelumnya. Telepon triase ini bertujuan untuk mengurangi jumlah kunjungan pasien di rumah sakit. Biasanya yang melakukannya adalah seorang perawat. Telepon triase ini sebenarnya sudah dimulai sejak lama di negara maju. Alexander Graham Bell saja sudah menggunakan telepon saat ini minta bantuan saat ada zat asam yang jatuh di celananya.

Jadi menurut American Academy of Ambulatory Care Nursing (AAACN) dapat disimpulkan bahwa kegiatan dalam telepon triase meliputi :
a. Memberikan penilaian keperawatan
b. Memberikan perawatan
c. Memberikan pendidikan kesehatan dan konseling
d. Memberikan rujukan ke sumber daya kesehatan lain
e. Mengimplementasikan protocol khusus berdasarkan kondisi pasien
f. Mengevaluasi tindakan

Pada awalnya pasien menelepon perawat yang disiapkan untuk menjelaskan keluhannya. Perawat mencatat seluruh data yang didapat dari pasien. Saat telepon itu pun bisa dinilai pola napas paisen, mengi, dan batuk kering. Sebelumnya juga pasien telah dibimbing untuk cara menjelaskan segala keluhannya agar bisa diinformasikan lewat telepon dengan baik. Untuk itu perawat bekerja berkolaborasi dengan dokter dan tim kesehatan yang lain juga.

Setelah itu perawat juga harus bisa menentukan rujukan untuk melanjutkan penanganan pasien tersebut. Setelah itu yang terpenting adalah evaluasi. Yang perlu dievaluasi adalah kepuasan pasien, hasil yang diperoleh dan kelanjutan dari penyakit pasien. Hasil yang buruk tentu harus segera diperbaiki agar tidak terjadi kembali.

Sistem telepon triase sendiri menggunakan sistem komputerisasi yang canggih. Biasanyan seorang perawat triase akan menggunakan platform computer yang memiliki backend database. Hal ini menjamin kehandalan dan akurasi, serta kemudahan penggunaan. Salah satu jenis teknologi yang masuk ke dalam system ini termasuk VOIP atau voice over internet, yeng merupakan teknologi yang banyak digunakan. Emergency nurse telah meluncurkan perangkat system telepon triase untuk mengurangi Ambulance call-out. Perangkat ini disebut NHS Pathways, suatu software pengkajian klinik. Alat ini membantu operator telepon triase emergensi dapat mengecek gejala pemanggil.

Memang sistem telepon triase ini belum banyak berkembang di Indonesia karena keterbatasan teknologi. Baru di beberapa kota besar saja yang sudah memakai sistem telepon triase ini. Yang jelas, hal ini menjadi peluang bagi perawat untuk bisa menjalankan asuhan kesehatan masyarakat. Bukan dokter saja yang berperan, perawat dalam hal ini juga telah menjadi bukti bahwa perawat tidak kalah pentingnya dengan tenaga kesehatan yang lain.

Sumber : http://www.fik.ui.ac.id/pkko/files/Tugas%20UTS%20SIM_Wayunah_KMB.pdf

Jumat, 26 November 2010

Jika setiap orang di Indonesia menguasai BLS..



BLS atau Basic Life Support adalah bantuan yang kita berikan dengan tujuan untuk meningkatkan kemungkinan hidup orang yang kita tolong. Ini adalah ilmu medis dasar yang boleh dipelajari oleh semua orang walaupun bukan berlatar belakang medis. Hal ini disebabkan karena ilmu BLS ini memang diperlukan buat setiap orang karena ancaman kematian bisa datang kapan saja. Dengan BLS, diharapkan resiko meninggal akan berkurang dengan adanya bantuan yang kita berikan dengan BLS. Di Amerika, BLS ini sudah diberikan sejak dini kepada seluruh masyarakat.

BLS mencakup 4 hal :
1. Airway
2. Breathing
3. Circulation
4. Defibrilation
Penanganannya juga berbeda untuk dewasa, anak balita dan bayi di bawah 1 tahun

-Dewasa-
1. Jika tersedak dan sadar, bisa kita tanya, " apakah kamu tersedak?", jika ia bisa berbicara biarkan ia dalam posisi berdiri dan batuk. Jika ia tidak bisa berbicara segera lakukan Abdominal Thrust


2. Jika ia tersedak tapi tidak sadarkan diri,hubungi 911 (118 kalau di jogja), buka jalan napas dan buang sumbatan mulut yang bisa kita lihat, lakukan 2 kali napas buatan dan mulai RJP (resusitasi jantung paru), setiap memberi napas lihat dada pasien, lakukan CPR 30x dan 2 kali napas buatan



3. Napas penyelamatan diberikan hanya jika pasien tidak bernapas dengan adekuat tapi ada nadi. Napas diberikan 1 kali setiap 5-6 detik atau 11-12 napas dalam 1 menit.

4. CPR penyelamatan dilakukan mulai dari
a. Korban ditemukan tidak sadar dan setelah kita respon dengan oanggilan dan sentuhan nyeri ia tidak sadar.
b. Minta bantuan ke 911 (Jogja 118)
c. Lakukan head tilt-chin lift-jaw thrust
d. Lihat pergerakan dada, dengarkan suara napas dan rasakan hembusan napasnya di pipi anda selama 5-10 detik.
e. jika tidak bernapas berikan napas buatan
f. cek arteri karotis tiap 5-10 detik

Jika korban muncul denyut nadi, Napas diberikan 1 kali setiap 5-6 detik atau 11-12 napas dalam 1 menit. Cek kembali setiap 2 menit.
Jika korban tidak muncul denyut nadi, mulai tekan dada di tengah dada di antara kedua puting susu. tekan dengan tangan kita bertumpuk pada satu tangan, lakuakn dengan rasio 30 kompresi : 2 napas buatan dengan kecepatan 100x per menit dan kedalaman tekanan 1,5-2 inchi. Cek ulang setiap 5 siklus (1 siklus = 30 kompresi dan 2 napas buatan).

Pada kasus Henti Jantung seperti yang terjadi pada artis sinetron kita baru-baru ini, semestinya peluang hidup bisa ditingkatkan jika segera dilakukan BLS. Namun kemampuan orang Indonesia yang belum terlatih menyebabkan kasus-kasus seperti ini hanya menjadi tontonan, tangisan, dan kepanikan saja.

Sumber : American Heart Association

Kamis, 25 November 2010

Tipe Rumah Sakit Siaga Bencana



Rumah sakit memegang peran penting dalam penanganan korban bencana. Rumah sakit merupakan tempat pengobatan setiap korban. Namun bagaimana jika pasien yang datang berjumlah 2000 orang dalam waktu 4 jam seperti yang terjadi setelah gempa Jogja 26 Mei 2006 ? Tentu sistem normal rumah sakit tidak mampu mengatasinya dengan baik. Untuk itu Rumah sakit wajib memiliki sistem darurat penanganan bencana untuk keadaan yang tidak normal tersebut.

Dalam sistem penanganan rumah sakit yang dimiliki, proses pananganan pasien pun memiliki perbedaan. sistem ini biasa disebut Management Support. Proses-proses tersebut bisa dibagi menjadi beberapa bagian yaitu :
a. Tahap komando ( Command ): meliputi saat ditentukan bahwa prosedur penanggulangan bencana mulai berlaku, sampai saat semua petugas dan satuan kerja aktif bekerja.
b. Tahap Persiapan Keamanan ( Safety ): meliputi persiapan untuk keamanan Petugas, keamanan Lingkungan, dan Keamanan Korban.
c. Tahap Komunikasi( Communication ): meliputi pengaturan komunikasi internal maupun eksternal.
d. Tahap Penilaian Cepat Situasi( Assessment ): merupakan proses penilaian terhadap situasi yang dihadapi serta strateji yang akan. Yang paling berperan dalam proses ini seharusnya adalah Komandan Bencana.

Selanjutnya ada pula yang disebut Medical Support, yaitu proses penanganan korban setelah management support dilaksanakan, yaitu :
a. Tahap Triase (Triage): yaitu proses seleksi korban untuk menentukan prioritas penanganan.
b. Tahap Penanganan Medis (Treatment); meliputi proses penanganan korban setelah di seleksi melalui Triase.
c. Tahap (Transport): meliputi proses Rujukan keluar maupun antar unit didalam RS, serta Pemulangan korban yang telah selesai ditangani

Sistem ini sebenarnya menganut pada Incident Command System dari National Incident Management System di Amerika. Namun khusus pada rumah sakit, sistim komando tersebut diberi nama Hospital Incident Command System (HICS) yang saat ini dipakai sebagai acuan oleh Departemen Kesehatan dalam bentuk buku Pedoman Perencanaan Penyiagaan Bencana Bagi Rumah Sakit. Untuk bisa dijalankan dengan baik, rumah sakit memamng harus memiliki syarat-syarat seperti jelas sistem manajemennya, sederhana, fleksibel, pembagian tugas dan kewenangan yang jelas, komperhensif, adaptif, antisipatif dan menjadi bagian dari penanggulangan bencana setempat.

Sumber : http://bencana-kesehatan.net/images/hospital/umum/Materi%20Dasar%202.Principles%20of%20Hospital%20Disaster%20Plan.pdf

Rabu, 24 November 2010

Tim Medis juga termasuk Tim Reaksi Cepat?



Bencana memang datang mengagetkan. Walaupun kadang sudah kita prediksi, tetap saja kedatangannya membuat kita tercengang dan pusing tujuh keliling. Terjadi kekacauan di lingkungan sekitar dan di dalam diri kita karena ketidaknormalan yang terjadi sehingga kita harus melakukan sesuatu yang tidak biasa kita lakukan. Dibalik kepanikan kita itu, sebuah tim sudah meluncur ke daerah kita yang terkena bencana. Siapakah mereka? Mereka adalah Tim Reaksi Cepat dari BNPB.

Tim Reaksi Cepat BNPB disingkat TRC BNPB adalah suatu Tim yang dibentuk oleh Kepala BNPB, terdiri dari instansi/lembaga teknis/non teknis terkait yang bertugas melaksanakan kegiatan kaji cepat bencana dan dampak bencana pada saat tanggap darurat meliputi penilaian kebutuhan (Needs Assessment), penilaian kerusakan dan kerugian (Damage and Loses Assessment) serta memberikan dukungan pendampingan (membantu SATKORLAK PB/BPBD Provinsi/ SATLAK PB/BPBD Kabupaten/Kota) dalam penanganan darurat bencana.

Mau jadi tim reaksi cepat? Tak segampang itu. Ada beberapa persyaratan yang harus dipenuhi jika kita ingin menjadi bagian dari TRC, yaitu sehat jasmani dan rohani, telah mengikuti workshop atau pelatihan TRC, berpengalaman di bidang kedaruratan bencana, bersedia ditugaskan ke lokasi bencana 3-7 hari, dan setiap saat siap sedia dengan peralatan perorangan dimana pun berada.

Sebelum terjun pastilah ada tahap persiapan yang harus dilakukan. Biasanya pusat memberi informasi bahwa ada bencana yang harus segera ditindaklanjuti. Pusat meminta kesediaan personil untuk berangkat dan anggota wajib menyampaikan kesediaannya kepada pusat dengan sarana komunikasi yang ada.

Saat TRC tiba di lapangan, mereka selalu mengawali dengan memperkenalkan diri kepada pemimpin setempat baru kemudian mempersiapkan tempat dan melakukan survei lapangan sampai menyampaikan apa saja yang seharusnya dilakukan dalam keadaan bencana. Yang menarik adalah kegiatan mereka saat turun ke lapangan, yatu :
1) Identifikasi terhadap cakupan lokasi bencana, jumlah korban, kerusakan prasarana dan sarana, gangguan terhadap fungsi pelayanan umum serta pemerintahan.
2) Identifikasi kebutuhan yang mendesak untuk pencarian dan penyelamatan korban bencana dan evakuasi korban bencana, pemenuhan kebutuhan dasar (pangan, sandang, air
bersih/minum dan sanitasi, pelayanan kesehatan), penampungan sementara (tenda, tikar, genset, MCK, dapur umum), perlindungan terhadap kelompok rentan (balita, ibu
hamil, lansia, cacat), pemulihan darurat sarana dan prasarana, antara lain
pembersihan puing/lumpur/tanah longsor, jalan/jembatan/tanggul, fasilitas pelayanan kesehatan, transportasi, telekomunikasi dan energi.
Setelah itu TRC melakukan kewajiban yang lain yaitu membentu Satkorlak PB dan Satlak PB.

Kemudian, di setiap kegiatan diadakan evaluasi untuk mengetahui tingkat kesuksesan penanganan, jumlah pasokan bantuan cukup atau masih kurang, lokasi yang masih belum tertangani, dll. Setelah waktu yang ditentukan berakhir, maka berakhir pula masa tugas TRC. Mereka segera berbenah diri kemudian tak lupa pamit kepada Gubernur atau pemimpin setempat. Selain itu juga TRC wajib mengirimkan laoran yang berisi kinerja mereka selama 7 hari tersebut.

Lalu dimana tim medis berada? Tim Medis sebenarnya berbeda dengan TRC. Tim Medis merupakan SDM yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan pengungsi dalam menjaga kesehata mereka selama di pengungsian. Ada form dan penjelasan lengkap di sumber tulisan ini. Silakan nanti bisa dicek langsung. Tapi pada dasarnya, walaupun Anda dari medis, tidak emnutup kemungkinan menjadi bagian dari TRC asal memenuhi syarat yang telah dijelaskan sebelumnya. So, kenapa tidak?

Sumber : http://www.bnpb.go.id/file/publikasi/59.pdf

Selasa, 23 November 2010

SIMLOG-PB , Sistem Informasi Manajemen Logistik Penanganan Bencana



Para relawan sudah mulai berguguran dan mulai digantikan dengan lapis kedua. Donasi sudah menutup sumbangan berupa barang dan mulai ke arah uang supaya distribusinya bisa sesuai kebutuhan pengungsi. Apakah makanan dan kebutuhan para pengungsi boleh berhenti sekarang? Tidak. Pengungsi masih membutuhkannya karena logistik bagi mereka adalah penyelamat, penyambung hidup mereka sampai nanti mereka bisa menghasilkan sumber pendapatan mereka lagi.

Sebenarnya masih banyak masalah yang ada di dalam sistem logistik. Banyak bantuan dari donatur yang tergeletak di pengungsian namun tidak bisa dinikmati oleh pengungsi. Entah apa lagi yang terjadi. Yang jelas, sistem tidak berjalan dengan baik di sini. Padahal negara kita sudah sering sekali mengalami bencana terutama bencana alam. Namun sampai sekarang belum ada sistem yang bisa digunakan untuk mengangani bencana khususnya di bidang logistik.

Secara umum, definisi logisitik adalah aktivitas yang berkaitan dengan pengadaan (procurement), penyimpanan (storage) dan penghantaran (delivery) barang sesuai dengan jenis, jumlah, waktu, dan tempat yang dikehendaki atau diperlukan konsumen dari titik asal (point of origin) ke titik tujuan (point of destination). Pemerintah sendiri sebenarnya sudah memiliki instansi yang mengurusi penanggulangan bencana yaitu Badan Koordinasi Nasional Penanggulangan Bencana dan Penanganan Pengungsi atau yang biasa disebut BAKORNAS PBP. Dimana BAKORNAS PBP juga dibantu oleh Satuan Koordinasi Pelaksana Penanggulangan Bencana dan Penanganan Pengungsi (Satkorlak PBP) untuk wilayah propinsi dan Satlak PBP untuk wilayah yang lebih kecil.

Alur pendistribusian logistik sendiri dimulai dari Donatur yang kemudian ke BAKORNAS PBP sebagai pengelola dan dilanjutkan ke Satkorlak PBP sebagai pusat dan diserahkan ke Satlak PBP sebagai pengecer untuk langsung diberikan kepada para pengungsi. Selain itu juga berjalan feedback dari pengungsi berupa informasi kebutuhan mereka yang berjalan terbalik, yaitu dari pengungsi disampaikan ke Satlak PBP, kemudian dilanjutkan ke Satkorlak PBP, dilanjutkan lagi ke BAKORNAS PBP dan diterima oleh para donatur sehingga donatur bisa menyusun logistik yang akan disumbangkan sesuai dengan kebutuhan pengungsi.

Kita perlu sistem yang rapi dalam penyampaian informasi ini karena memang terdapat kekurangan selama ini yaitu pengumpulan data saja sudah menghabiskan dana yang sangat besar, manajemen logistik dalam penanganan bencana menuntut terkumpulnya data secara cepet, akurat dan terintegrasi, dll. Dalam hal ini memang sedang dikembangkan sistem informasi menggunakan digital karena sistem digital memiliki keunggulan dibandingkan cara manual di setiap prosesnya. Dalam hal ini diperkenalkanlah SIMLOG-PBP.

Pengembangan SIMLOG-PBP yang berasal dari Geography Information System (GIS) memiliki beberapa tahap :
1. Konseptual. Pada tahap inni dititikberatkan pada pemetaan dan identifikasi organisasi serta sistem informasi yang sudah ada.
2. Perancangan. Pada tahap ini dipersiapkan rencana implementasi, rancangan sistem, dan rancangan basis data yang akan dibangun.
3. Pengembangan. pada tahap ini dilakukan sistem akuisisi sistem, akuisisi basis data, pengorganisasian sistem, persiapan prosedur operasi, dan persiapan lokasi.
4. Tahap Operasional, tahap operasional meliputi instalasi sistem dan pembuatan pilot project. Objek uji coba adalah BAKORNAS PBP, Satkorlak PBP dan Satlak PBP.
5. Tahap Audit, pada setiap periode tertentu, keberadaan sistem sebaiknya ditinjau kembali untuk memonitor relevansinya. Jika hasil review menunjukkan adanya pergeseran sistem dari tujuan semula, maka diperlukan perbaikan dan atau perluasan sistem (system expansion).

Pada saat ini SIMLOG-PBP sudah sampai pada tahap konseptual pada tahun 2009. Sampai sekarang masih terus berjalan. Mari kita lihat apakah rencana ini akan sampai pada tahap akhir dan bisa diaplikasikan pada kejadian yang sesungguhnya.

Sumber : http://journal.uii.ac.id/index.php/Snati/article/viewFile/1034/990

Kamis, 18 November 2010

Mati Cerebral = Mati yang sebenarnya



Suatu hari ada jenazah yang diyakini telah meninggal dunia. Ia pun dikuburkan dengan adat yang ada. Saat akan dikuburkan di liang lahat, tiba-tiba ia terbangun dan keluar dari peti matin nya. Serentak orang di sekitarnya kaget dan berkata "mati suri!". Apakah orang ini benar mati dan hidup kembali?

Mati bisa dijelaskan menjadi mati klinis dan mati otak. Awalnya mati didefinisikan sebagai mati klinis yang ditandai dengan tidak adanya pernapasan dan denyut nadi. Namun sebenarnya keadaan mati seperti ini bersifat reversibel atau dapat kembali lagi dengan bantuan CPR (RJP). Saat ini, istilah mati secara medikolegal didefinisikan sebagai mati otak (mati cerebral). Kematian terjadi saat fungsi cerebral mati dan tidak dapat kembali lagi.

Tentu sangat sulit jika kita harus mengetahui apakah otak masih berfungsi atau tidak. Kita bisa mengetahuinya dengan memperhatikan beberapa tanda-tanda yang muncul, tidak harus melihat otak bekerja atau tidak secara langsung. Tanda atau kriteria tersebut adalah :
1. Dilatasi bilateral dan fiksasi pupil
2. Absen semua refleks
3. Berhentinya pernapasan tanpa bantuan
4. Berhentinya aktivitas jantung
5. Jejak gelombang datar
Dan untuk menetapkan bahwa pasien sudah meninggal adalah dokter, bukan ketua RW atau kepala desa.

Saat kita menemukan pasien meninggal saat berada di dekat kita mungkin tidak begitu menjadi masalah. Tetapi lain halnya jika kita menemui korban pembunuhan yang keadaannya sudah terbujur kaku dan kita tidak mengetahui kapan ia meninggal tepatnya. Maka kita bisa memakai pedoman Wilson dalam menilai berapa waktu yang lalu pasien/korban meninggal :
1. Tiap 1 jam = Suhu tubuh menurun 1,5' Farenheit
2. 30 menit = kulit nampak seperti malam, bibir kebiruan, kuku pucat
3. 3 jam = Kulit mulai pucat kelabu, putih memucat jika disentuh, badan masih hangat jika disentuh, belum ada rigor mortis
4. 4-6 jam = kulit dingin jika disentuh, rigor mortis awal di leher dan rahang
5. 6-8 jam = kepucatan permanen (tidak ada putih pucat saat disentuh), rigor mortis bertambah, kornea berawan
6. 12 jam = rigiditas penuh
7. 18-24 jam = badan dingin dan lembab basah bila disentuh, kulit merah kehijauan, rigor mortis berubah, leher dan rahang kendur
8. 30 jam = rigor mortis berubah, badan lembab
9. 3 hari = badan membengkak karena terbentuk gas, lepuh terbentuk di kulit, cairan keluar dari lubang-lubang yang ada di tubuh
10. 3 minggu = kulit, rambut dan kuku lepas, kulit mulai pecah

Selain itu kita juga bisa menilai berapa lama waktu perkiraan kematian dari aktivitas serangga/insecta yang ada di sekitar jenazah :
1. 10 menit = Lalat hijau datang dan menebar telur di mata, hidung dan mulut
2. 12 jam = telur menetas, belatung makan jaringan
3. 24-36 jam = kumbang datang dan makan kulit kering
4. 48 jam = laba-laba dan tungau datang memakan serangga yang ada di tubuh korban

Nah, kalau sudah begini apakah Anda sudah siap menjadi detektif?

Sumber : http://jurnal.pdii.lipi.go.id/admin/jurnal/35403231239.pdf

Rabu, 17 November 2010

Gigi korban mirip gigi saya. Jadi?



Setiap bencana seringkali menghasilkan korban-korban. Ada yang hidup, luka-luka, atau juga bisa meninggal. Setiap korban perlu ditolong. Korban hidup dan luka-luka perlu segera distabilkan dan dibawa ke rumah sakit. Lalu bagaimana korban yang meninggal? Apakah langsung dibawa ke kuburan?

Korban meninggal seringkali terjadi karena bencana, bisa karena bencana natural atau bencana yang disebabkan oleh manusia itu sendiri. Bencana natural contohnya adalah tsunami, gempa bumi, banjir, tanah longsor. dll. Bencana yang disebabkan oleh manusia seperti kecelakaan darat, laut, udara, dan kebakaran hutan. Korban meninggal karena bencana tersebut wajib diidentifikasi khususnya korban meninggal.

Identifikasi korban bencana haurs dilakukan secara ilmiah dan dapat dipertanggungjawabkan serta mengacu pada standar interpol. Prosesnya sendiri memiliki 5 fase, yaitu ‘The Scene’, ‘The Mortuary’, ‘Ante Mortem Information Retrieval’, ‘Reconciliation’ and ‘Debriefing’. Banyak metode yang digunakan dalam fase ini. Namun demikian Interpol menentukan Primary Indentifiers yang terdiri dari Fingerprints, Dental Records dan DNA serta Secondary Indentifiers yang terdiri dari Medical, Property dan Photography. Prinsip dari proses identifikasi ini adalah dengan
membandingkan data Ante Mortem dan Post Mortem, semakin banyak yang cocok maka
akan semakin baik.

Metode identifikasi korban ini bisa dalam bentuk sederhana ataupun ilmiah. Cara sederhana bisa kita lihat dari :
a. Visualnya. Ini adalah cara termudah jika korban dalam keadaan utuh. Akan sulit jika korban dalam keadaan luka bakar, tulang remuk, dsb.
b. Kepemilikannya. Bisa dilihat dari pakaian, perhiasan, surat-surat, dll yang masih melekat pada tubuh korban.
c. Dokumentasi. Foto apa pun yang ada di tubuhnya. Foto SIM, KTP, dll yang bisa digunakan untuk cek identitas korban.

Sedangkan metode ilmiah bisa dibagi menjadi :
a. Sidik jari
b. Serologi
c. Antropologi
d. Odontologi
e. Biologi
f. DNA profiling yang merupakan metode paling mutakhir. Walaupun untuk menggunakannya harus memiliki dana yang besar dan peralatan yang canggih.

Gigi merupakan suatu cara identifikasi yang dapat dipercaya, khususnya bila rekam dan foto gigi pada waktu masih hidup yang pernah dibuat masih tersimpan dengan baik.
Pemeriksaan gigi ini menjadi amat penting apabila mayat sudah dalam keadaan membusuk atau rusak, seperti halnya kebakaran.

Adapun dalam melaksanakan identifikasi manusia melalui gigi, kita dapatkan 2 kemungkinan:
1) Memperoleh informasi melalui data gigi dan mulut untuk membatasi atau menyempitkan identifikasi. Informasi ini dapat diperoleh antara lain mengenai:
a. umur
b. jenis kelamin
c. ras
d. golongan darah
e. bentuk wajah
f. DNA
2) Memperoleh ciri-ciri yang khas dari korban. Ciri-ciri yang dimaksud bisa seperti lubang di gigi depan, gigi yang patah atau ompong, dll.
3) Menggunakan superimposed technique yaitu mencocokkan tengkorak korban dengan foto kepala di masa hidupnya.

Adapun identifikasi khusus pada korban bencana masal yaitu :
a. Primer/utama
1) gigi geligi
2) sidik jari
3) DNA
b. Sekunder/pendukung
1) visual
2) properti
3) medik

Setelah korban teridentifikasi sedapat mungkin dilakukan perawatan jenazah yang meliputi antara lain:
a. Perbaikan atau rekonstruksi tubuh jenazah
b. Pengawetan jenazah (bila memungkinkan)
c. Perawatan sesuai agama korban
d. Memasukkan dalam peti jenazah

Sumber : http://repository.usu.ac.id