Minggu, 31 Oktober 2010

Lindungi Bangsa dari virus Flu Babi (H1N1)





Flu Babi (H1N1) sempat menjadi momok bagi masyarakat Indonesia beberapa waktu lalu. Kedatangannya yang tiba-tiba sebenarnya berasal dari Meksiko. WHO juga sudah menetapkan bahwa telah masuk fase 5 Pandemi, yaitu menularnya virus dari hewan ke manusia. Pemerintah kemudian mengatur sistem survailans untuk mencegah penularan yang lebih luas ke masyarakat.

Lalu apa tanda-tanda orang sudah terinfeksi H1N1?? Seseorang dengan gejala infeksi saluran pernapasan akut (demam >38 derajat Celcius), mulai dari flu ringan sampai pneumonia dengan syarat 7 hari sebelum sakit pernah kontak dengan penderita H1N1, atau pernah menuju daerah yang terkena wabah H1N1. Selain itu juga positif influensa A tanpa diketahui penyebabnya, atau meninggal karena infeksi pernapasan akut tanpa diketahui penyebabnya.

Masa inkubasi virus ini sekitar 1-7 hari. Cara penularan secara droplet (udara saat berbicara atau bersin). Sebagai alat konfirmasi, penderita virus H1N1 diperiksa dengan Real Time RT PCR, kultur virus, dan npeningkatan 4 kali antibodi spesifik H1N1 dengan tes netralisasi. Pengobatannya memakai antivirus yang masih sensitif yaitu Oseltamivir dan Zanamivir.

Deteksi dini dilakukan lewat pelabuhan laut, udara dan darat dengan instrumen yang digunakan adalah kartu kewaspadaan kesehatan (Health Alert Card/HAC). Satu orang anggota tim masuk dengan menggunakan masker, dan segera menjelaskan rencana kegiatan, masalah Flu H1N1, hubungan dengan anggota keluarga yang dicurigai sebagai penderita Flu H1N1(belum pasti), risiko penularan kepada anggota keluarga yang lain.

Prosesnya dimulai dengan tegaskan bahwa tim akan membantu keluarga ini mencegah berkembangnya penyakit diantara anggota keluarga. Sedapat mungkin penderita diminta tidur di tempat tidur dan mengenakan masker. Setelah dipersilakan, maka anggota tim yang lain masuk ke rumah. Gunakan masker pada waktu akan masuk ke rumah penderita. Tim melakukan wawancara dan mengisikan dalam formulir penyelidikan. Apabila ditemukan suspek maka segera dikoordinasikan dengan dokter puskesmas untuk proses rujukan. Semua kontak dipantau selama 10-14 hari dari kontak terakhir. Memberikan pesan kepada keluarga dan masyarakat sekitar.

Pesan penting yang disampaikan adalah apabila terdapat anggota keluarga yang lain menderita sakit demam, maka secepatnya berobat ke puskesmas. Kemudian menjaga kebersihan tangan (cuci tangan). Juga apabila batuk atau bersin secepatnya tutup mulut dan hidung dengan tissu, atau selalu menggunakan masker. Dengan ini harapannya masyarakat akan terhindar dari virus H1N1 dan bisa menangani dengan tepat apabila terdapat keluarga yang kemungkinan terkena virus ini.

Sumber : www.depkes.go.id/h1n1/download/juknis_surveilans_1.pdf

Jumat, 29 Oktober 2010

Obat sebenarnya tidaklah Mahal




Hidung gatal, memancing untuk bersin-bersin, kemudian keluar air dari hidung terus-menerus, bersin tiada henti, dan hidung mulai merah. Sepertinya saya sakit flu (common cold). Minum obat apa ya? Ah iklan di tipi kan minum Sana*lu.. Tapi itu obat bermerek. Karena saya tahu obat bermerek mahal, lebih baik saya minum obat generik saja. Obat generik kan obat rekomendasi pemerintah, pasti murah dan tetap berkhasiat. Saya datang ke apotek. Tetapi sampai di apotek, saya bingung. Sebenarnya berapa sih harga obat generik yang dikatakan Murah? Atau jangan-jangan murahnya obat generik di apotek ini masih terbilang Mahal dibandingkan obat generik di apotek tetangga?

Banyak orang memiliki dilema seperti yang diceritakan di atas. Tidak ada informasi yang jelas tentang cara masyarakat mendapatkan obat generik yang tepat, baik dari segi mutu dan harga. Memang pemerintah sudah mengumukan di media-media bahwa lebih baik menggunakan obat generik daripada obat bermerek atau paten. Tetapi tidak ada penjelasan yang spesifik tentang cara bagaimana masyarakat bisa mendapatkan obat generik. Apakah pasti obat generik yang dibawa mobil cup itu aman dan tepat?

Obat generik resmi sebenarnya bisa didapat dari apotek. Saat Anda membeli obat generik di apotek, pastikan Anda mendapatkan Faktur sebagai bukti pembelian. Faktur itu juga secara tidak langsung menunjukkan bukti kelegalan obat tersebut. Lalu bagaimana dengan Harganya?

Harga obat generik telah ditetapkan sejak dahulu. Peraturan terbaru adalah Permenkes/146/2010. Di situ dijelaskan bahwa obat generik seharga Harga Netto Apotek (HNA) ditambah Pajak Pertambahan Nilai (PPN). HNA+PPN adalah harga jual pabrik obat dan pedagang besar farmasi kepada pemerintah, rumah sakit, apotek dan sarana kesehatan yang lain. Selain itu ada Harga Eceran tertinggi (HET) yang dijual kepada apotek, rumah sakit, dan sarana kesehatan lainnya.

Pabrik obat harus meresepkan HNA+PPN sebagai patokan tertinggi dalam menjual obat ke rumah sakit, apotek, dan sarana kesehatan lainnnya. Untuk menjaga ketersediaan di lokasi yang jauh, diperkenankan pabrik menganggarkan 5% biaya distribusi untuk Regional I, 10% untuk Regional II, dan 20% untuk Regional IV. Regional I mencakup DKI Jakarta, Jawa Tewngah, Jawa Barat, Jawa Timur, dl. Regional II mencakup Sumatera Utara, Sumatera Barat, Riau, dll. Regional III mencakup Nangroe Aceh Darussalam, Kalimantan Timur, Kalimantan Barat, dll. Dan regional IV mencakup NTT, Maluku, Papua, dll.

Berapa harga pastinya? silakan download Permenkes/146/2010 di . Data tersebut bisa menjadi pegangan Anda dalam membeli obat generik. Mari gunakan obat generik dengan aman dan Tepat.

Sumber : Permenkes/146/2010

Rabu, 27 Oktober 2010

Asuransi, hidup tenang atau susah?



Diabetes Melitus merupakan penyakit yang perawatannya lama dan memerlukan biaya yang mahal untuk setiap pembelian obat insulin. Penyakit jantung juga memerlukan biaya besar untuk pemasangan kateter hanya demi melihat ada tidaknya sumbatan di pembuluh darah jantung. AIDS sudah pasti akan membunuh Anda lebih kurang dalam sepuluh tahun jika terkena. Dan belum ada obatnya sampai sekarang.

Tidakkah Anda tahu? Sesungguhnya biaya yang dilakukan untuk mencegah Anda terkena penyakit-penyakit tersebut sangatlah murah. Anda hanya perlu mengeluarkan biaya untuk pengaturan pola makan, gaya hidup bebas rokok, maupun seks yang aman. Tidak perlu merasakan derita akibat penyakit tersebut dan tentu tidak perlu mengeluarkan uang dalam jumlah banyak hanya untuk hidup sehat.

Kini Indonesia mulai menerapkan sistem asuransi kesehatan seperti yang dilakukan oleh negara-negara lain seperti Amerika Serikat. Sistem asuransi ingin mengubah pola pikir masyarakat yang selama ini mengeluarkan uang dalam jumlah banyak saat mereka sakit menjadi pengeluaran uang yang sangat kecil saat mereka sehat untuk mendapat jaminan kesehatan bebas biaya saat mereka sakit berapa pun biayanya. Sistem asuransi ini sebenarnya sangat luar biasa menguntungkan masyarakat. Namun masih terdapat kendala karena masih banyak masyarakat yang belum sadar fungsi yang sesungguhnya. Mereka masih saja berpikir, "Saya sehat. Buat apa saya harus keluar uang?"

Sistem asuransi juga membantu para dokter untuk mengubah pola pikir mereka bahwa dengan pola asuransi ini para dokter tidak akan berdoa lagi "semoga ada orang yang sakit datang berobat" tetapi menjadi "semoga masyarakat sehat selalu" dan mereka tidak akan bangkrut. Sistem asuransi ini menggunakan sistem kapitalisasi dimana setiap orang membayarkan premi sebesar yang telah ditentukan. Biasanya sekitar 5000-17.000 rupiah per kepala setiap bulannya tergantung kebijakan daerah. Sungguh jumlah yang sangat kecil untuk penanganan sampai sembuh saat mereka sakit nanti.

Kapitasi sendiri memiliki beberapa model. Masing-masing model memiliki keunggulan dan kekurangan masing-masing. Pertama adalah Kapitasi Parsial/Individual. Model ini memang berisiko besar. Apalagi saat jumlah anggota yang sedikit karena pada model ini biaya rujukan atau rumah sakit menjadi biaya Pembayar. Namun model ini memberikan keuntungan kepada pembayar untuk biasa mengawasi pelaksanaan lebih rinci.

Model kedua adalah Kapitasi Parsial/Kombinasi IPA (Provider/PT Jamsostek). Model ini membuat Pembayar bisa mengatasi masalah perekrutan anggota di tempat yang persebaran anggota sedikit karena mereka memiliki PPK (pusat pelayanan kesehatan) yang mereka gaji/bayar untuk membantu mereka. Ketiga adalah model Kapitasi Parsial/Grup. Model ini membagi kepengurusan rawat jalan dan rawat inap. Rawat jalan diserahkan pada PPK dan rawat inap dibebankan pada Rumah Sakit. Pembayar bisa fokus pada penambahan anggota dan PPK serta Rumah Sakit fokus pada tugasnya masing-masing.

Keempat adalah Kapitasi Penuh/Grup. Pada model ini Pembayar tidak perlu kuatir adanya rujukan yang berlebihan karena antara Rumah sakit dan PPK sama-sama dibayar dengan kapitasi. Dan Kelima adalah Model Kombinasi Lain. Pada model ini yang penting mereka memegang prinsip bahwa pembayaran kapitasi dilakukan antara Pembayar dengan PPK bukan antara sesama pembayar.

Tentu kapitasi juga memiliki efek. Efek positifnya adalah PPK akan memberikan pelayanan yang berkualitas tinggi, akan muncul program promosi kesehatan dan pelayanan yang pas, tidak kurang dan tidak lebih agar uang yang digunakan tidak defisit. Selain itu ada juga efek negatifnya, yaitu terjadinya rujukan besar-besaran, pelayanan yang cepat dan tidak sesuai standar, dan tidak melakukan pelayanan yang baik agar keuntungan bertambah dan masyarakat tidak datang pada PPK lagi. Hal ini akan merugikan jika program dalam jangka panjang.

Jadi, kapan kita akan mulai sadar untuk membayar premi asuransi yang sangat murah itu untuk mendapat pelayanan Bebas Biaya?

Sumber : 1997. Source Book of Health Insurance Data, HIAA, Washington. DC.

Selasa, 26 Oktober 2010

Nasib si Miskin yang sakit di Rumah Sakit



Indonesia adalah negara besar yang memiliki jumlah penduduk yang besar pula. Sistem pemerintahan yang baru sudah berhasil meningkatkan jumlah penduduk yang kaya. Namun sayangnya, jumlah penduduk yang miskin pun semakin banyak. Hal ini masih menjadi PR bagi kita semua karena sampai saat ini, suara rakyat miskin lah yang banyak dinomorduakan.

Orang miskin sakit, kemudian ia berobat ke rumah sakit, dan menjadi semakin miskin. Apakah tidak ada keringanan untuk mereka? Apakah pemerintah menetapkan biaya yang sama untuk semua pasien di rumah sakit? Sesungguhnya sudah ada peraturan dan kebijakan pemerintah yang sudah dijalankan untuk meringankan beban orang miskin yang berobat ke rumah sakit. Namun belum semua bisa berjalan dengan maksimal.

PT. Askes adalah badan yang dikontrak oleh Depkes untuk membiayai mereka di bangsal kelas 3 yang jumlahnya sudah ditetapkan oleh pemerintah minimal 49% di setiap rumah sakit. Sistem pembiayaannya sama dengan PNS, yaitu case-based reimbursement. Bedanya dengan PNS adalah kalau PNS dibiayai untuk bangsal kelas 1 atau 2.

Namun hak yang orang miskin dapat dari pelayanan kesehatan bangsal kelas 3 pun bukan semata-mata bebas dari semua biaya. Subsidi untuk bangsal kelas 3 hanya mencakup sewa kamar, makan, minum dan pencucian sprei saja! Mungkin ditambah bebas jasa medis dokter atau perawat. Dan mereka Tetap Harus Membayar biaya obat yang mahal dan peralatan untuk keperluan diagnostik seperti CT scan, Rontgen, dll.

Kalau PNS ditarik iuran per bulan yang diambil dari gaji. Tapi orang miskin tidak bisa karena mereka dilindungi negara lewat UUD 1945. Lalu darimana sumber dananya? Memang banyak masalah timbul dari kebijakan ini. Bukan hanya dari sisi orang miskin yang dirugikan, tapi dari pihak rumah sakit pun mengalami dilema pada kasus ini.

Rumah sakit harus membiayai semua biaya untuk orang miskin. Padahal bantuan yang diberikan oleh pemerintah jauh dari kenyataan yang terjadi, sehingga beban biaya sisanya ditanggung sendiri oleh rumah sakit. Tarif yang ditetapkan pemerintah untuk pasien bangsal kelas 3 sangat rendah dan ruang tersebut tersedia minimal 49% di rumah sakit, sehingga semakin besar biaya yang harus ditanggung oleh rumah sakit tersebut.

Belum lagi menorganisasi tenaga kesehatannya seperti dokter dan perawat untuk tetap bekerja dengan baik. Alhasil, jasa medis tetap diberlakukan dengan cara golongan 3A dan 3B dijadikan golongan 3. Namun besarnya jasa medis Terlalu Kecil. Contoh saja, untuk jasa medis dokter spesialis hanya dikenakan sebesar 4000 rupiah saja per hari.

Sumber : Laporan Teknis untuk Penyusunan Peraturan Pelaksanaan UU untuk SJSN

Senin, 25 Oktober 2010

Hati-hati dengan Dokter yang disetir perusahaan Farmasi!



"Dok, jadi saya harus minum obat apa?".
Itulah pertanyaan yang hampir selalu ditanya pasien pada dokternya setelah selesai penjelasan diagnosis penyakit dan serentetan pemeriksaan. Kemudian dokter menuliskan resep obat dan pasien langsung membawa resep itu ke apotik untuk segera ditukar dengan obat yang akan dikonsumsi.

Banyak pasien yang melakukan proses di atas berulang-ulang dan tanpa banyak bertanya karena sudah percaya dengan sang dokter. Namun kadang ada juga pasien yang kritis, sampai-sampai ia sudah membaca artikel dari internet dan menanyakan mengapa ia diberi obat tersebut dan apa gunanya obat tersebut. Kemudian dokter menjelaskan. Dan pasien pun puas. Apakah Anda termasuk salah satunya?

Mungkin Anda adalah orang yang berkecukupan atau malah kaya raya sampai-sampai bingung bagaimana cara menghabiskan uang Anda tersebut. Namun apakah Anda rela mengeluarkan uang sebesar Rp 300.000,- untuk obat yang seharusnya bisa Anda dapatkan dengan mengeluarkan uang sebesar Rp 3.000,- saja? Uang yang seharusnya bisa Anda gunakan untuk amal dan sodaqoh hilang untuk membeli obat yang mahal hanya karena Merek Terkenal yang diberikan oleh dokter tersebut.

Banyak dokter yang meresepkan obat yang berbeda-beda pada jenis penyakit yang serupa. Pasien terluka dengan kemungkinan infeksi bisa diberi obat Amoxycillin, Ampicillin, Cloramphenicol, dll. Semuanya sama jenisnya, yaitu antibiotik atau biasa disebut antiinfeksi. Namun apakah kalian mengerti bahwa di antara itu semua ada yang harganya super murah dan ada yang super mahal padahal Efeknya Sama? Tidak hanya antibiotik, jenis obat yang lain pun masih sangat banyak.

Berdasarkan hasil penelitian, diketahui bahwa banyak industri farmasi (pabrik obat) yang menawarkan obatnya kepada dokter praktek untuk dijual kepada pasien. Biasanya obat ini harganya lebih mahal dan memiliki merek obat yang lebih dikenal masyarakat lewat media elektronik dan media massa. Padahal ada obat yang memiliki efek sama namun harganya jauh lebih murah.

Hal ini terjadi karena rayuan industri farmasi kepada dokter yang mau menawarkan obat mereka akan mendapat fasilitas lebih dari mereka. Sang dokter bisa terbang ke mana saja untuk mengikuti seminar, dll Gratis! Belum lagi souvenir-souvenir cantik dari pabrik mereka. Jika Anda adalah seorang dokter, Sadarkah Anda kalau uang yang dipakai untuk membayari Anda adalah uang Pasien, Bukan Uang Pabrik Mereka? Dimanakah nurani seorang dokter yang diidolakan masyarakat sejak dulu?

Seorang dokter harus paham dengan obat yang akan diberikan kepada pasiennya. Sekolah selama lebih kurang enam tahun sudah seharusnya tidak lalai akan hal itu. Dokter harus sadar akan tujuan dokter untuk membantu sesama, bukan mengambil untung dari orang sakit. Dokter sudah seharusnya tahu dimana bisa mendapatkan obat generik yang benar sesuai dengan prosedur yang legal. Jangan jadikan alasan tidak tahu sumber obat yang benar untuk menerima obat-obat mahal dengan iming-iming yang menggiurkan dari industri farmasi. Semua hanyalah demi kesembuhan pasien, bukan karena uang.

Minggu, 24 Oktober 2010

Dokter Indonesia kalah dengan luar negeri?




Maraknya tenaga asing di Indonesia menjadi sorotan masyarakat saat ini. Globalisasi semakin mempertajan momok masa depan tenaga kesehatan di Indonesia. Lahan dokter Indonesia akan dirampas jika dokter dari luar berdatangan. Setiap daerah akan mendapat peluang sama untuk memperoleh bantuan dari tenaga kesehatan luar negeri. Hal ini baik atau malah sebenarnya buruk?

Sebenarnya masyarakat dan para dokter di Indonesia tidak perlu khawatir yang berlebihan karena dokter asing tidak semena-mena bisa terjun di Indonesia. Mereka memiliki syarat yang berat untuk bisa bekerja di Indonesia. Jadi jangan bayangkan di puskesmas Anda akan ada 10 dokter asing yang menggantikan tenaga kesehatan kita. Tidak akan seekstrim itu. Namun dokter asing memang akan menimbulkan efek buruk jika kita tidak memperhatikan hal ini dengan teliti mulai dari sekarang.

Menteri Kesehatan Endang Rahayu Sedyaningsih mengatakan bahwa ada beberapa syarat yang harus dipenuhi bagi dokter asing yang akan berada di Indonesia. Syaratnya adalah mereka harus bisa berbahasa Indonesia, memiliki surat tanda registrasi (STR), dan hanya bisa praktik di institusi yang ditunjuk. Masa praktik mereka pun dibatasi hanya dua atau lima tahun. Jadi, tanpa ketiga syarat tersebut mereka tidak bisa berkeliaran di negara kita.

Berdasarkan UU No 29/2004 tentang Prakter Kedokteran, STR dokter asing juga masih dibagi dua, yaitu STR sementara dan STR bersyarat. STR sementara hanya untuk dokter asing yang berkegiatan seperti pendidikan, penelitian, dan pelayanan yang sifatnya sementara. Sedangkan STR bersyarat untuk dokter asing peserta Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) yang mengikuti pelatihan dan pendidikan di Indonesia.

Di balik kesulitan dokter asing bekerja di Indonesia, namun dokter Indonesia harus mulai berbenah diri. Dokter Indonesia harus meningkatkan pelayanan kesehatan pada masyarakat, menambah pengetahuan, teknologi, dan hubungan personal antara dokter dan pasien, sehingga masyarakat kita tidak kehilangan kepercayaan dan memilih datang ke luar negeri.

Memang saat ini kita sering merasa kalah dengan negara asing apalagi negara tetangga seperti yang terjadi belakangan ini. Namun jangan jadikan hal tersebut sebagai alasan kita untuk menghujat mereka sebagai perampok, pemeras, ataupun pencuri. Kita sebagai bangsa yang besar harusnya juga melihat kembali ke diri kita. Sudah siapkah kita bersaing dengan mereka? Apakah kita mau bersatu demi kemajuan bangsa kita? Apakah tenaga kesehatan kita mau berusaha lebih keras agar masyarakat percaya akan kemampuannya? Hanya kalian semua yang bisa menilai ;)

Sumber : Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia

Jumat, 22 Oktober 2010

Kesehatan Indonesia masih merayap bagai Ulat




Lulusan dokter, perawat dan bidan di Indonesia yang terkenal sangat banyak di Indonesia sebenarnya masih jauh dari cukup bahkan masih kurang jika kita cermati lagi. Sungguh ironis, lebih dari 70 universitas kedokteran, sekolah tinggi ilmu kesehatan dan akademi kebidanan di Indonesia yang konon bermutu dan berprestasi, ternyata belum bisa melayani seluruh masyarakat Indonesia. Kemana saja mereka?

Sebagian besar tenaga kesehatan memang berkumpul di pulau Jawa. Rendahnya tingkat kesadaran akan peran tenaga kesehatan sesungguhnya menjadi motivasi mereka untuk memilih tinggal di daerah perkotaan yang aman, dekat rumah, dekat keluarga, dan dekat dengan fasilitas hiburan yang semestinya dikesampingkan jika kita ingat berapa masyarakat Indonesia di daerah pelosok yang membutuhkan layanan jasa kesehatan dari para tenaga kesehatan.

Sebenarnya jumlah dokter di Indonesia pun sangat rendah. Hal ini bisa dibandingkan dengan beberapa negara tetangga. Dokter di Indonesia masih temasuk rendah yaitu 19/100.000 penduduk. Filipina sudah mencapai 58/100.000 penduduk. Sedangkan Malaysia, negara terdekat kita sudah mencapai 70/100.000 penduduk. Hal ini tentu sangat ironis jika kita melihat seberapa banyak fakultas kedokteran telah meluluskan mahasiswa kedokterannya.

Memang, dari Sistem Kesehatan Nasional (SKN) menjelaskan bahwa telah ada peningkatan status kesehatan ditinjau dari menurunnya Angka Kematian Bayi (AKB) dari 46/1000 kelahiran hidup tahun 1997 menjadi 34/1000 kelahiran hidup tahun 2007. selain itu juga Angka Kematian Ibu (AKI) menurun dari 318/1000 kelahiran hidup tahun 1997 menjadi 228/1000 kelahiran hidup. Namun peningkatan ini belum sesuai harapan. Bayangkan saja, selama 10 tahun baru terjadi penurunan angka kematian seperti telah dijalaskan berikutnya.

Sampai saat ini banyak sekali tantangan yang harus tenaga kesehatan hadapi. Banyaknya jenis penyakit yang muncul di Indonesia, tidak meratanya sistem kesehatan bagi kelompok sosial ekonomi , menurunnya kinerja sektor publik dan justru didominasi pihak swasta, dan pendanaan cenderung rendah dan tidak merata serta desentralisasi yang baru berkembang. Masyarakat trntu berharap tenaga kesehatan Indonesia segera sadar akan peran mereka yang sebenarnya, yaitu meningkatkan angka kesehatan di Indonesia yang seharusnya, bukan profit oriented seperti yang banyak terjadi sekarang ini.

Sumber : Sistem Kesehatan Nasional